Taktik Bertahan Industri Emas Hitam: Kaltim di Tengah Badai Biaya dan Regulasi

Share

Aktivitas penambangan batu bara di Kalimantan Timur, wilayah yang paling merasakan dampak perlambatan industri akibat kenaikan biaya dan ketidakpastian regulasi. Produksi Kaltim diproyeksikan turun 2% pada 2025, memicu kontraksi ekonomi daerah.(KPC)

Kaltim Live! Balikpapan – Industri batu bara nasional, yang menjadi denyut nadi utama perekonomian di sejumlah daerah penghasil, kini menghadapi tekanan signifikan yang mengancam target pertumbuhan regional. Kalimantan Timur (Kaltim), sebagai lumbung utama batu bara Indonesia, menjadi wilayah yang paling sensitif terhadap gejolak ini, di mana perlambatan kinerja sektor utama tersebut telah memicu kontraksi ekonomi.

Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA), Gita Mahyarani, menyoroti bahwa pelaku usaha dihadapkan pada tekanan ganda (double-whammy): peningkatan biaya operasional yang ‘menggigit’ dan ketidakpastian regulasi domestik.

Secara nasional, marjin keuntungan (profit margin) industri batu bara tergerus signifikan akibat efek spiral dari dua faktor utama: peningkatan biaya produksi pasca-pencabutan subsidi biofuel (B40), dan ketidakpastian kebijakan fiskal seperti rencana pengenaan bea keluar ekspor.

“Kondisi ini menekan margin pelaku usaha dan memperlambat aktivitas produksi di sejumlah daerah penghasil batu bara utama. Ini adalah isu yang mempengaruhi keberlanjutan bisnis (business sustainability),” ujar Gita dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (29/10/2025).

Di tingkat regional Kaltim—wilayah yang mendominasi 33,7% izin pertambangan nasional—tantangan yang dihadapi tak kalah pelik dan bersifat high-cost economy. Hambatan serius di antaranya meliputi usulan kenaikan Dana CSR Tambang menjadi Rp10.000 per ton, tingginya tarif Biaya Penggunaan Jasa (BUP) Muara Berau, ketidakpastian izin deliniasi tambang di sekitar Ibu Kota Negara (IKN), serta maraknya tambang ilegal yang menciptakan distorsi pasar.

Perlambatan di sektor “emas hitam” ini telah memicu efek domino (multiplier effect) yang terlihat dari data makro Kaltim. Perekonomian daerah tersebut pada kuartal II/2025 tercatat melambat, hanya tumbuh 4,69% secara tahunan (y-on-y), anjlok dari 5,85% pada periode yang sama tahun lalu.

Kontraksi ini diperparah dengan kinerja sektor utama pertambangan dan penggalian yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar -0,13%. Akibatnya, target produksi Kaltim untuk 2025 direvisi turun 2% menjadi 380 juta ton, dari realisasi 388,5 juta ton pada tahun sebelumnya.

Data nasional pun menegaskan adanya kemerosotan kinerja. Produksi nasional secara year to date (YTD) hingga Agustus 2025 merosot 8,15%. Lalu, Volume ekspor juga tergerus 9,5% (YTD Januari hingga September).

Pelemahan ini disebabkan oleh kombinasi lesunya permintaan global, kendala cuaca, tantangan teknis operasional, dan eskalasi biaya operasional.

Dari sisi pasar eksternal, penurunan volume ekspor Kaltim utamanya didorong oleh melemahnya demand dari dua raksasa Asia, China dan India.

Namun, APBI mencatat adanya secercah harapan (signaling positive) dari peningkatan permintaan beberapa negara di kawasan ASEAN yang tengah menguatkan kebutuhan energi mereka.

Sementara itu, pasar domestik (DMO) juga menunjukkan tren serupa dengan penurunan 10,8% (YTD Januari–Agustus). Kendati demikian, sektor kelistrikan tetap menjadi konsumen captive terbesar, menyerap 67,43% dari total alokasi DMO, menunjukkan peran vital batu bara dalam menjaga stabilitas energi nasional.(Kaltim Live)

TAG:

TRENDING

Pilihan Editor

Berita Lainnya